Palu, 2 Juli 2025 — Humas Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah melakukan wawancara bersama Pengelola Program Malaria, Riyal, SKM, dari Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular. Dalam wawancara tersebut, ia memaparkan bahwa malaria masih menjadi tantangan kesehatan yang serius di Sulawesi Tengah.
Dari 13 kabupaten/kota di Sulawesi Tengah, saat ini 8 daerah telah dinyatakan mencapai status eliminasi malaria. Namun, sayangnya masih ditemukan kasus-kasus penularan lokal (indegenius) di beberapa wilayah yang sudah eliminasi, seperti Kabupaten Banggai, Parigi Moutong, dan Poso. Padahal, syarat utama untuk mempertahankan sertifikat eliminasi adalah tidak adanya penularan lokal selama tiga tahun berturut-turut.
“Jika kasus indegenius terus ditemukan, dikhawatirkan sertifikat eliminasi dari Kementerian Kesehatan dapat dicabut,” tegas Riyal.
Ia menjelaskan, kasus-kasus penularan lokal yang masih terjadi kebanyakan ditemukan di wilayah populasi khusus seperti daerah terpencil dan perbukitan, yang masyarakatnya kerap berpindah-pindah. Hal ini menyulitkan petugas kesehatan dalam melakukan pelacakan dan pengobatan. Beberapa contoh wilayah dengan tantangan tersebut antara lain Banggai, Tojo Unauna, dan Morowali Utara.
Sebagai bentuk intervensi, Dinas Kesehatan telah melatih kader malaria yang sesuai dengan Permenkes No. 41 Tahun 2018. Para kader ini diberikan kewenangan untuk melakukan pemeriksaan RDT dan pemberian obat malaria di wilayah yang sulit dijangkau, dengan pengawasan petugas kesehatan.
Lima kabupaten yang belum mencapai eliminasi — Banggai Kepulauan, Donggala, Tojo Unauna, Morowali, dan Morowali Utara — terus didorong untuk melakukan percepatan eliminasi. Khusus Kabupaten Banggai Kepulauan, saat ini tengah dipersiapkan untuk dinilai oleh tim eliminasi pusat pada tahun 2026, karena telah memenuhi indikator eliminasi selama tujuh tahun berturut-turut.
Namun, kabupaten lainnya masih terkendala dengan temuan kasus penularan lokal yang cukup tinggi. Riyal juga menyoroti tingginya mobilisasi penduduk, terutama di daerah pertambangan seperti Morowali dan Morowali Utara, yang menjadi magnet bagi pekerja dari wilayah endemis seperti Papua, NTT, Kalimantan, dan Maluku Utara.
“Pekerja sering tiba di waktu-waktu yang sulit dipantau, seperti malam atau subuh. Sayangnya, kesadaran untuk melakukan skrining kesehatan, termasuk malaria, masih sangat kurang,” tambahnya.
Upaya penanggulangan terus dilakukan, antara lain distribusi kelambu untuk daerah terpencil, pengobatan standar, serta pelatihan petugas mikroskopis malaria dengan dukungan dana DAK dari pemerintah pusat. Pelatihan tersebut telah dilaksanakan di Kabupaten Donggala dan Tojo Unauna.
Namun, Riyal juga menyebutkan masih banyak tantangan di lapangan, seperti keterbatasan logistik dan alat penunjang, serta jumlah petugas yang masih belum ideal. Bahkan masih ditemukan petugas non-analis yang merangkap sebagai petugas laboratorium di puskesmas-puskesmas terpencil.
Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah berharap kabupaten/kota dapat meningkatkan surveilans migrasi serta memperkuat penyelidikan epidemiologi 1-2-5, yaitu:
- Hari ke-1: Konfirmasi kasus
- Hari ke-2: Penyelidikan lingkungan
- Hari ke-4/5: Tindakan pengendalian lapangan
Pencatatan kasus dilakukan melalui aplikasi e-SISMAL, sementara logistik dicatat dalam aplikasi SMILE.
“Dua harapan utama kami adalah tersedianya logistik yang memadai dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Kami juga berharap lima kabupaten yang belum eliminasi bisa tuntas selama masa jabatan Gubernur saat ini,” tutup Riyal.
Dengan semangat kolaborasi antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, serta dukungan dari masyarakat, upaya eliminasi malaria di Sulawesi Tengah diharapkan bisa tercapai secara menyeluruh.
Sumber berita Pengelola Program Malaria: Moh. Riyal, SKM