Berdasarkan data Riskesdas, prevalensi kanker di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan dari 1,4 per 1000 penduduk di tahun 2013 menjadi 1,79 per 1000 penduduk pada tahun 2018. Prevalensi kanker itu tersebut tidak hanya dilihat dari satu sisi peningkatan saja, tapi di sisi lain justru pelayanan kesehatan juga lebih meningkat.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehata, dr. Anung Sugihantono, M.Kes mengatakan kita perlu melihat sisi lain dari peningkatan prevalensi kanker itu.
Kita tidak bisa melihat satu sisi soal peningkatan jumlah, tapi aksesibiltas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan juga meningkat. Dulu orang banyak yang susah berobat karena masalah pembiayaan. Tapi tahun 2014 ada JKN, dan PBI makin banyak sehingga semua orang relatif punya akses,” kata Anung pada Temu Media Hari Kanker Sedunia di ruang Pers Naranta Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kamis (31/1).
Berdasarkan data Globocan, saat ini beban penyakit kanker di dunia meningkat, yaitu terdapat 18,1 juta kasus baru dengan angka kematian sebesar 9,6 juta kematian di tahun 2018 dimana 1 dari 5 laki-laki dan 1 dari 6 perempuan di dunia mengalami kejadian kanker, serta 1 dari 8 laki-laki dan 1 dari 11 perempuan meninggal karena kanker.
Angka kejadian tertinggi di Indonesia untuk laki – laki adalah kanker paru yaitu sebesar 19,4 per 100.000 penduduk, yang diikuti dengan kanker hati sebesar 12,4 per 100.000 penduduk. Sedangkan angka kejadian untuk perempuan yang tertinggi adalah kanker payudara yaitu sebesar 42,1 per 100.000 penduduk yang diikuti kanker leher rahim sebesar 23,4 per 100.000 penduduk.
Secara keseluruhan angka kejadian penyakit kanker di Indonesia sebanyak 136,2/100 ribu berada pada urutan 8 di Asia Tenggara, sedangkan di Asia urutan ke-23.
Anung menambahkan pada Hari Kanker Sedunia kali ini lebih ditekankan kepada masyarakat untuk melakukan pencegahan dengan cek kesehatan dan berperilaku hidup sehat.
[penci_related_posts dis_pview=”no” dis_pdate=”no” title=”Inline Related Posts” background=”” border=”” thumbright=”yes” number=”4″ style=”grid” align=”none” withids=”” displayby=”recent_posts” orderby=”rand”]“Kita harapkan saat ini adalah masyarakat tumbuh rasa tanggungjawabnya terhadap diri sendiri di dalam upaya pencegahan dan menemukan sejak dini hal yang berkaitan dengan faktor risiko yang kemungkinan akan menimbulkan kanker. Jangan merokok, lakukan PHBS, dan diet yang seimbang. Ini adalah bagian dari upaya pencegahan umum,” kata Anung.
Anung mencontohkan suatu wilayah tanpa menyebutkan nama wilayah tersebut yang sudah dilakukan penelitian terkait jumlah kanker. Diketahui perokok di wilayah itu 60% menderita kanker paru untuk laki—laki dan menderita TBC.
Berdasarkan data Komite Penanggulangan Kanker Nasional dari 266 juta penduduk di Indonesia terdapat 348.809 pasien kanker baru setiap tahunnya dimana sekitar 80% tidak terobati.
20% dari 80% penderita yang tidak terobati tersebut mengupayakan pengobatan ke luar negeri. Pengobatan penderita ke luar negeri yang minimal terdiri dari satu orang sakit ditambah 1 orang pendamping akan menyebabkan potensial economic loss sebesar Rp.803.346.240.000.
Untuk pencegahan dan pengendalian kanker di Indonesia, khususnya dua jenis kanker terbanyak di Indonesia, yaitu kanker payudara dan leher rahim, pemerintah telah melakukan berbagai upaya antara lain deteksi dini kanker payudara dan kanker leher rahim pada perempuan usia 30-50 tahun.
Deteksi dini itu dilakukan dengan menggunakan metode Pemeriksaan Payudara Klinis (Sadanis) untuk payudara dan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) untuk leher rahim. Selain upaya di atas, Kementerian Kesehatan juga mengembangkan program penemuan dini kanker pada anak, pelayanan paliatif kanker, deteksi dini faktor risiko kanker paru, dan sistem registrasi kanker nasional.
Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan RI.